Hammurabi
Hammurabi (bahasa Akkadia, dari kata
Ammu "saudara laki-laki pihak ayah", dan Rāpi "seorang
penyembuh"); adalah raja keenam dari Dinasti Babilonia pertama (memerintah
1792-1750 SM), dan ia mungkin juga Amraphel, raja dari Sinoar menurut Bibel (Alkitab)
(Kejadian 14:1).
Hammurabi memimpin pasukannya
menyerang Akkadia, Elam, Larsa, Mari dan Summeria, sehingga menjadikan
Kekaisaran Babilonia hampir sama besar dengan Kerajaan Mesir kuno di bawah
Firaun Menes, yang menyatukan Mesir lebih dari seribu tahun sebelumnya.
Piagam Hammurabi
Walaupun Hammurabi banyak sekali
melakukan peperangan menaklukkan kerajaan lain, namun ia lebih terkenal karena
pada masa pemerintahannya dibuat kode resmi (hukum tertulis) pertama yang
tercatat di dunia, yang disebut sebagai Piagam Hammurabi (Codex Hammurabi).
Pada tahun 1901, arkeolog Perancis
menemukan piagam tersebut ketika melakukan penggalian di bawah reruntuhan bekas
kota kuno Susa, Babilonia. Piagam Hammurabi tersebut terukir di atas potongan
batu yang telah diratakan dalam huruf paku (cuneiform). Piagam tersebut
seluruhnya ada 282 hukum, akan tetapi terdapat 32 hukum diantaranya yang
terpecah dan sulit untuk dibaca. Isinya adalah pengaturan atas perbuatan
kriminal tertentu dan ganjarannya. Beberapa contoh isinya, antara lain:
Seorang yang gagal memperbaiki saluran airnya akan diminta untuk
membayar kerugian tetangga yang ladangnya kebanjiran
Pemuka agama wanita dapat dibakar hidup-hidup jika masuk rumah panggung
(umum) tanpa permisi
Seorang janda dapat mewarisi sebagian dari harta suaminya yang sama
besar dengan bagian yang diwarisi oleh anak laki-lakinya
Seorang dukun yang pasiennya meninggal ketika sedang dioperasi dapat
kehilangan tangannya (dipotong)
Seseorang yang berhutang dapat bebas dari hutangnya dengan memberikan
istri atau anaknya kepada orang yang menghutanginya untuk selang waktu tiga
tahun
Saat ini, Piagam Hammurabi telah
disimpan dan dipamerkan untuk khalayak ramai di Museum Louvre di Paris,
Perancis.
bagian atas prasasti batu piagam hammurabi
Arti penting
Hammurabi selain merupakan raja,
adalah juga seorang pemimpin agama masyarakat Babilonia. Dengan demikian,
Piagam Hammurabi merupakan suatu aturan resmi yang dijalankan oleh masyarakat
dan pemerintahan Babilonia. Diperkirakan bahwa dahulu hukum-hukum yang
diterbitkan dibuat menjadi piagam (dalam bentuk prasasti) dan diperlihatkan
kepada khalayak ramai untuk memperoleh persetujuan. Jadi hukum-hukum bukan
dibuat oleh pemerintah semata-mata agar sesuai dengan pendapatnya sendiri.
Dalam pengertian ini, Piagam Hammurabi dapat dianggap sebagai pendahulu dari
sistem hukum resmi seperti yang saat ini berlaku pada masyarakat modern.
Hammurabi, Sang Pencipta Hukum
Hammurabi adalah penguasa yang
menciptakan kebesaran Babylonia kuno, metropolis pertama di dunia. Banyak
peninggalan pemerintahan Hammurabi (1795-1750 BC) yang telah dilestarikan, dan
saat ini kita dapat mempelajari raja yang luar biasa ini sebagai pembuat hukum
tertulis yang terkenal dengan sebutan Kode Hammurabi. Meski untuk zaman
sekarang Kode Hammurabi terasa bengis dan hanya menuruti rasa dendam saja tapi
tujuan hukum ini sebenarnya untuk melindungi segenap warga Babylonia dari
perbuatan kriminal.
Yang membuat kita terperangah Hukum
Hammurabi begitu rinci sehingga seolah-olah ingin menjangkau semua segi
kehidupan masyarakat. Tampaknya Hammurabi tak ingin tanggung-tanggung. Dia
ingin semuanya bisa diatur dalam sebuah sistem hukum yang komplet sehingga tak
satupun segi kehidupan masyarakat yang lolos dari pengaturan.
Hammurabi juga sadar bahwa hukum
harus diketahui dan disadari seluruh anggota masyarakat. Hanya dengan begitu,
warga bisa menghindari perbuatan yang bisa dijerat sanksi hukum. Untuk itu dia
telah mengumumkan secara luas kepada rakyatnya seluruh bangunan hukum, yang
disusun berdasarkan pengelompokan yang teratur, sehingga semua orang bisa
membaca dan mengetahui apa yang dituntut oleh hukum yang dibuatnya.
Kode itu dipahat pada monumen batu
hitam, setinggi 8 kaki. Jelas ini dirancang supaya dapat dijangkau pandangan
publik. Batu yang terkenal ini ditemukan pada tahun 1901, bukan di Babylonia,
tapi di sebuah kota pegunungan Persia, yang diduga dibawa oleh para penakluk.
Kalimat-kalimat hukum yang terpahat di monumen itu dimulai dan diakhiri dengan
pujian pada Tuhan. Bahkan sebuah kode hukum digunakan sebagai bahan untuk
berdoa walaupun doa itu terutama berisi celaan terhadap siapapun yang melanggar
dan menghancurkan hukum.
Kode itu kemudian mengatur
garis-garis yang tegas dan definitif terhadap organisasi masyarakat. Hakim yang
membuat kesalahan dalam suatu kasus hukum bisa dicopot dari jabatannya untuk
selamanya, dan didenda dalam jumlah yang besar. Saksi yang memberikan
keterangan palsu dihukum mati.
Memang semua kejahatan yang dianggap
berat dapat dijatuhi hukuman mati. Bahkan apabila seorang membangun rumah
dengan buruk dan roboh dan membunuh pemiliknya pembangun rumah itu akan
dibunuh. Apabila putra pemilik terbunuh, maka putra pembangun rumah juga harus
dibunuh.
Kita dapat melihat dimana bangsa
Ibrani mempelajari hukum mereka ‘sebuah mata untuk sebuah mata’. Hukuman yang
bersifat balas dendam yang mengerikan ini tanpa ada kata maaf dan penjelasan,
tapi hanya berdasarkan fakta dengan satu perkecualian yang mencolok. Seseorang
tertuduh diizinkan untuk melemparkan dirinya sendiri ke sungai, Euphrates. Di
sini tampaknya seni berenang tidak dikenal. Apabila dia selamat hingga ke
tepian, ia dinyatakan tak bersalah. Apabila ia tenggelam ia dianggap bersalah.
Jadi kita belajar bahwa nasib di
pengadilan para dewa yang berkuasa sudah tegas. Walaupun kita orang jaman
sekarang mungkin melihat hukum tersebut bersifat kekanak-kanakan, yang
diciptakan oleh pikiran manusia.
Sebetulnya Kode Hammurabi bukanlah
benar-benar yang paling awal. Kumpulan hukum yang telah ada lebih dulu telah
hilang tapi kita menemukan beberapa jejaknya, dan kode hukum Hammurabi sendiri
jelas-jelas menyatakan eksistensi mereka. Hammurabi telah mereorganisasi sistem
legal yang telah lama diciptakan. (Charles F. Horne: The Code of Hammurabi: Introductio
beberapa bentuk hukum Hammurabi :
“Tukang batu yang membuat rumah, dan
rumah itu ambruk sehingga menewaskan penghuni yang ada di dalamnya, maka tukang
batu tersebut harus dihukum mati”.
filosofi : jaminan mutu dan
profesionalisme, dimana setiap orang harus memiliki profesionalitas dalam
bekerja, dan bertanggungjawab atas hasil pekerjaannya.
seorang biarawati akan dibakar
hidup-hidup jika kedapatan memasuki penginapan tanpa ijin, seorang dokter bedah
yang pasiennya meninggal saat dalam penanganannya akan kehilangan sebelah
tangannya, orang yang mencuri akan dipotong tangannya, orang yang berbohong
akan dipotong lidahnya.
hukum yang melindungi perempuan,
yaitu : seorang janda berhak mendapatkan warisan sejumlah yang diterima anak
lelakinya. Mengingat bahwa pada saat itu perempuan sama sekali tidak memiliki
hak (termasuk tidak memiliki hak atas harta benda), dan janda yang ditinggal
mati suaminya berada pada posisi paling lemah (karena ia menjadi ‘barang tak
bertuan’ yang boleh ‘diambil’ oleh siapa pun), maka hukum ini merupakan
pembelaan dan perlindungan yang sangat besar maknanya bagi perempuan.
Para pakar yang atheist, agnostik dan
deist dalam menganalisa rentetan pergelutan ummat manusia di antara bangsa
hanya memakai pendekatan historis. Sayangnya para pakar Muslim turut pula
terperangkap ke dalam jaring filsafat positivisme, sebab kalau tidak demikian
hasil analisa mereka itu akan dicap tidak ilmiyah, karena melanggar rambu-rambu
dan tatacara keilmuan. Demikianlah para pakar dari ketiga golongan yang
tergabung dalam filsafat positivisme bersama-sama dengan para pakar Muslim yang
ikut terseret secara sadar ataupun tidak sadar menempatkan semua agama sebagai
komponen atau bagian dari kebudayaan. Maka mereka itu dalam mencari hubungan
antara agama dengan agama, antara agama dengan dongeng-dongeng hasil imajinasi
dan sastra bangsa-bangsa dahulu kala, akan memakai pendekatan historis tok.
Para pakar sejarah yang tidak percaya wahyu, atau sekurang-kurangnya percaya
wahyu akan tetapi melecehkan wahyu dalam menganalisa sejarah dengan pendekatan
historis, tidaklah membedakan antara produk budaya Baniy israil (lsrailiyat),
yang mempunyai akar historis, dengan yang bersumber dari akar yang
non-historis, yaitu dari wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada para Nabi dari
kalangan Baniy Israil tersebut, yang dalam bentuk tertulis secana otentik
menjadi salah satu dari rukun iman yang enam, yaltu beriman kepada
-- waMa- Unzila min Qablika,
-- beriman kepada Kitab-Kitab yang
diturunkan sebelum engkau (hai Muhammad), (S.AlBaqarah 2:4).
Para pakar sejarah yang berpandangan
hidup filsafat positivisme tidak saja menyeret pakar sejarah yang Muslim dengan
pendekatan historis tok, bahkan mereka itu juga meracuni pola pikir para santri
dengan pendekatan historisnya. Berikut ini saya kutip dari sebuah bacaan
pelajaran bahasa Arab tentang Hukum Qishash dalam Kode Hammurabi, yang menjadi
judul dari seri ini. (Kode Hammurabi terpahat pada batu hitam diorit,
didapatkan dalam tahun 1901). Berikut kutipannya:
Barhana l'Ulama-u Anna Syariy'ata
Hammurabiy Allatiy Turjimat ila- Kulli Lugha-ti l'A-lami Ka-nat Natiyjata
Tathawwurin Da-ma Muddatan Thawiylah. WaYabduw Anna I'Ibra-niyiyna 'Inda
Khuruwjihim Mina IShahra-i wa Wushuwluhum ila- lHila-li Ghashiybi Aqa-muw
lShila-ta ma'a Ahli Ba-bila waTatalmadzuw 'Alayhim waAkhadzuw lSyariy'ata
'Anhum. FaKhalaqa Dzalika Jawwan Muna-siban liZhuhuwri Anbiya-a. Wa Qad Ja-a
fiy Tilka sySyariy'ati Ma- Yally: In Yaqla' Insa-nun 'Ayna Akhara Tuqla'
'Aynuhu. In Yaksir Insanun Sinna Akhara faSinnuhu Tuksaru. Man Yaqtul Yuqtal.
(Para pakar telah membuktikan bahwa kode Hammurabi, yang telah diterjemahkan ke
dalam setiap (?-HMNA_) bahasa di dunia, adalah hasil perkembangan secara
evolusi yang memakan rentang waktu yang panjang. Ternyata bangsa lbrani dalam
emigrasi mereka dari gurun sahara dan setibanya ke daerah Bulan Sabit yang
subur membina kontak budaya dengan bangsa Babilonia, dan menjadi murid mereka,
serta mengambil hukum mereka. Keadaan itu menciptakan iklim yan kondusif untuk
kemunculan para nabi. Terdapatlah di dalam hukum tersebut, seperti berikut:
Jika seseorang mencungkil mata orang lain, orang itu dicungkil matanya. Jika
seseorang mematahkan gigi orang lain, gigi orang itu dipatahkan. Siapa yang
membunuh, dibunuh).
Itulah hasil pendekatan historis para
pakar sejarah. Hukum Qishash dalam Tawrah berasal dan hasil kontak budaya
dengan bangsa Babilonia. Pengertian Nabi dalam bacaan di atas itu dikorupsi
oleh pakar sejarah: Nabi-nabi bukanlah orang yang mendapat wahyu. Nabi-Nabi
tidak lain hanya sekadar para cendekiawan yang mengambil hukum bangsa Babilonia
untuk diterapkan dalam kalangan bangsa Ibrani. Teori hasil penafsiran para
pakar sejarah dengan pendekatan historisnya tentang Nabi-Nabi dan bangsa Ibrani
yang mengambil kode Hammurabi untuk diterapk?n dalam kalangan bangsa Ibrani,
amatlah simplistik, bahkan naïf atau murahan. Memang hukum Qishash ada dalam
Syani'at yang dibawakan oleh Nabi Musa AS.
-- And he that killeth a man, he
shall be put to death (Leviticus. 24:21),
-- dan dia yang membunuh orang
haruslah dihukum mati.
Memang bangsa Ibrani (al'lbriyah
alJadiydah) yaitu Nabi Ibrahim AS dari Ur, Babilonia. Akan tetapi Nabi-Nabi
dari kalangan bangsa Ibrani, yang turunan dari Nabi lbrahim AS, semuanya
memakai Syari'at Nabi Musa AS, sedangkan Nabi Musa AS tidak pernah mengadakan
kontak budaya dengan bangsa Babilonia. Bahkan Nabi 'isa AS juga memakai
Syani'at Nabi Musa AS.
-- Janganlah kamu sangkakan aku
datang hendak merombak Hukum Tawrat atau Kitab Nabi-Nabi, (Matius 5:17).
Secara historis Nabi-.Nabi dalam
kalangan bangsa Ibrani, yang turunan dan Nabi lbrahim AS, tidak pernah
mengadakan kontak budaya dengan bangsa Babilonia, kecuali dua tiga orang (al.
Nabi Ezekil, Nabi Ezra, Nabi Danyal) tatkala Bani Israil dibuang ke Babilonia
(587 - 538)SM. Secara histonis Nabi-Nabi yang mengadakan kontak budaya dengan
bangsa Babilonia pada zaman pembuangan Babilonia sudah mempengunakan Syani'at
Nabi Musa AS. Bangsa Ibrani menjabarkan Syari'at Nabi Musa AS dalam wujud
Babylonian Talmud dalam periode pembuangan Babilonia. Jadi secana historis
Nabi-Nabi dalam kalangan bangsa Ibrani tidaklah mengambil Kode Hammurabi
seperti dalam bacaan bahasa Arab yang dikutip di atas itu.
ltulah kelemahan disiplin ilmu yang
berlandaskan fisafat positivisme sebagaimana keadaannya corak ilmu dewasa ini.
Kita lihat bagaimana naifnya hasil pendekatan historis yang terlalu memaksakan
bahwa Nabi-Nabi bangsa ibrani mengadopsi kode Hammurabi. Kita harus membongkar
sama sekali landasan ilmu pengetahuan yang sekarang ini. Bukan dibina di atas
landasan filsafat positivisme, melainkan disiplin ilmu itu harus dibangun di
atas landasan Tawhid. Dalam hal disiplin ilmu sejarah, haruslah ditempuh
kombinasi pendekatan historis dengan yang non-historis, yaitu pendekatan yang
mempergunakan sumber informasi dari sejarah dan wahyu.
Adanya hukum Qishash dalam Syani'at
Nabi Musa AS yang dilanjutkan oleh Nabi-Nabi dalam bangsa Ibrani dan adanya
hukum Qishash dalam Al Quran
-- Ya-ayyuha- Lladziyna A-manuw
Kutiba 'Alaykumu lQisha-shu fiy lQatla- (S.AlBaqarah, 178),
-- hai orang-orang beriman diperlukan
atas kamu qishash dalam pembunuhan (2:178), oleh karena hukum Qishash itu
bersumber dari Allah SWT yang diturunkan melalul wahyu kepada Nabi Musa AS dan
Nabi Muhammad SAW. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
good....
BalasHapus